The Second Love [chapter]

1008520_556994521003790_132906699_o

 

Author            : Song Je Bin
Tittle               : The Second Love
Cast                :           Lee Donghae as Donghae and Aiden
                                    Jung Je In (OC)
                                    Choi Jin Guk (OC)
                                    Hwang Hyun Ra (OC)
                                    And other cast you can find it by self.
Genre              : romance, little sad.
Length             : 1 of (?)
Disclaimer      : annyeong author abal-abal come back membawa ff abal-abal. Ff ini aku buat iseng-iseng jadi mohon maaf kalo kurang baik, nggak dapet fell’a. Semua cast di dalam sini milik Tuhan dan orang tuanya. Author hanya meminjam mereka sebagai karakter fiksi author. Don’t copast, bashing, or etc. Author hanya menerima kritik dan saran tapi bukan BASHINGAN! Caplocks jebol. Selamat menikmati. Happy reading
Story begin~
Seoul, akhir musim panas
           
            Stasiun kereta bawah tanah Seoul siang itu nampak padat. Beberapa orang berdiri menunggu kedatangan kereta mereka, sebagian lagi ada yang lebih memilih untuk duduk dibeberapa bangku yang memang sudah disediakan. Membaca berita harian melalui Koran, maupun memandangi pemandangan orang yang terus berlalu lalang.
            Seorang gadis muda –berusia sekitar 22 tahun, tengah terduduk disebuah bangku kosong. Gadis itu asik memandangi keramaian stasiun dengan orang-orang yang sibuk berlalu lalang didalamnya.  Sebuah senyuman kecil sesekali tergambar diwajahnya yang mungil. Gadis itu kemudian mengeluarkan ipod dari dalam saku celananya, dan kemudian memasangkan headset dikedua telinganya.
            Kedua matanya yang bulat terpejam menikmati alunan nada dari lagu yang diputar di ipodnya. Sebuah lagu lama dari Westlife –boyband asal Irlandia- mengalun indah ditelinganya. Tak lama handphonenya berbunyi dan menghentikan alunan lagu My Love. Gadis itu kemudian melepaskan headset yang menempel manis ditelinganya.
            “Hello moms,” sapa gadis itu ramah.
            “Hello too honey. Hey how your vacation? Have you arrive in Seoul yet?”
            “Eum yes moms. I’m in Seoul now,” jawab gadis itu ramah.
            “Take care your self  dear, and don’t forget to always call your moms,” gadis itu tersenyum mendengarkan nasihat dari ibunya.
            “Yes moms, I’ll promise to always contact you.”
            “Ok dear good bye, and take care.”
            “Bye too moms,” gadis itu menutup sambungan telponnya, menatap sejenak kelayar handphonenya dan kemudian memasukkannya kedalam saku celananya.
            Sudah hampir 2 jam gadis itu duduk didalam stasiun, sejak kereta yang ditumpanginya berhenti distasiun tersebut.  Gadis itu menghembuskan nafasnya dan melirik kearah jam tangannya. Menunggu memang bukanlah hal yang disukainya. Gadis itu memanyunkan sedikit bibirnya kesal dan kembali memasang headset dikedua telinganya.
            Tepat disaat itu, seorang pria muda –berusia sekitar 23 berlari menuju kearahnya dan berhenti didepan gadis itu dengan nafas yang terengah-engah. Dibungkuknya badannya dengan kedua tangannya bertumpu pada pahanya. Pria itu menormalkan nafasnya yang terengah dan kemudian menatap gadis dihadapannya itu cemas.
            “Mianhae aku telat menjemputmu,” ucap pria itu dengan nada ragu-ragu.
            Sementara gadis itu tidak memberikan reaksi apa-apa –terlihat mengabaikan pria tampan dihadapannya itu. “You always late,” sindir gadis itu.
            Pria itu mengerutkan kedua alisnya dan kemudian menghela kembali nafasnya. “Hey come on  Je In-ya this is Seoul not London. Please speak Korean!
            “I see Jin Guk-ah,” sahut gadis itu cepat. “Kajja temani aku makan siang,” seru gadis itu lagi dengan senyum manisnya dan berdiri meninggalkan bangku yang sedari tadi ditempatinya. Sementara Jin Guk hanya berdiri terbengong menatap gadis yang kini sudah berjalan meninggalkannya.
            Je In berbalik dan menolehkan kepalanya menatap kesal Jin Guk yang terdiam seperti seseorang yang terkena sihir. “Ya! Jin Guk-ah sampai kapan kau akan berdiri disitu eoh?” seru gadis itu dengan wajah yang sengaja pura-pura dibuat kesal, namun masih tergambar senyuman disana.
            Jin Guk seakan tersadar dan kemudian berlari menyusul Je In yang lebih dahulu berjalan mendahuluinya. Diam-diam Jin Guk tanpa sadar memperhatikan gadis disampingnya dengan seksama. Je In terlihat tampak manis dengan tubuhnya yang mungil dibalut dengan  kaus kemeja berwarna cream dan celana panjang hitam. Rambutnya yang panjang sebahu dengan poni yang menutupi dahinya semakin memperlihatkan keimutan wajahnya.
Saat ini Je In memang tidak sedang berdandan secara berlebihan, sebagaimana biasanya yang dilakukan gadis seusianya. Jin Guk diam-diam mengagumi kecantikan alami dan pesona dari Je In.  Dirasakannya dadanya berdebar hebat saat itu terlebih kini, dia dan Je In sedang berada berdua didalam mobilnya. Sementara Je In hanya menatap lurus kearah jalanan didepannya.
            ****
Je In mebuka matanya saat sinar matahari perlahan masuk menyelinap melalui celah-celah jendela kaca flatnya. Dilihatnya jam weker yang tergeletak dimeja samping ranjangnya. Waktu menunjukkan pukul 9 KST. Gadis itu pun merenggangkan badannya dan kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Dibasuhnya wajahnya dan kemudian dengan langkah kecil dia berjalan   menuju ruang menontonnya dan menyalakan televisi.
Layar televisinya menampilkan sebuah acara variety show. Terlihat beberapa selebritis korea menjadi bintang tamu disana. Pada awalnya Je In Nampak biasa dan tidak terlalu memperhatikan acara itu, namun tepat saat sang cameramen mengarahkan kameranya kepada seorang pria tampan seketika itu juga Je In membelalakan kedua matanya.
Gadis itu tersentak –kaget dengan sosok yang ada ditelevisi. Sebelah tangan gadis itu yang memegang remote menjadi menegang dan bergetar hebat. Sedangkan sebelah tangannya yang lain tanpa sadar menutup mulutnya yang juga bergetar. Air mata gadis itu pun sontak turun tanpa perlu aba-aba seakan mewakili isi hatinya. Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat.
“Tidak! Ini pasti tidak benar. Aku pasti sedang berkhayal saat ini,” gadis itu menggeleng kuat sambil mematikan televisinya. Air matanya masih menetes mengalir dikedua pipinya yang mulus. Gadis itu kini terdiam membiarkan airmatanya yang mengalir deras dan tatapannya yang kosong.
****
Seoul, musim gugur
Musim gugur di Seoul udara menjadi dingin. Daun-daun pohon jatuh berserakan ditanah memberikan gradasi warna pada tanah. Pohon-pohon menjadi mengering dengan ranting-rantingnya yang kini hanya memiliki beberapa helai daun-daunnya yang tersisa. Je In berjalan menyusuri taman didekat flatnya. Menikmati pemandangan musim gugur yang membawa hawa dingin.
Gadis itu kemudian berjalan hingga menuju sungai Han. Sebuah icon Korea Selatan. Sungai yang memiliki cerita melegenda dan membanggakan bagi warga Korea Selatan. Gadis itu merapatkan jaketnya, berusaha menghangatkan tubuhnya yang mendadak menjadi dingin. Lelah berjalan-jalan, gadis itu pun berhenti dan duduk didepan sungai Han. Menatap jauh kedepan hamparan sungai Han yang tenang.
Sudah sangat lama ia ingin kesini. Duduk dan menikmati pemandangan sungai Han yang tenang. Dipejamkannya kedua matanya, kemudian menghirup udara disekitarnya. Disaat   itu tanpa Je In sadari seorang pria tampan memandanginya. Pria itu tanpa sadar kini berjalan kearah Je In dan berhenti tepat dihadapan gadis itu. Seakan sudah mengenal gadis dihadapannya, pria itu kini menatap Je In.
Sebuah perasaan aneh mendadak menyelusuri sisi hatinya. Je In pun membuka matanya, dan terkejut menatap sosok dihadapannya. Sosok itu, -sosok yang sama dilihatnya ditv- kini berdiri tegak dihadapannya. Sesaat Je In merasa seperti terlempar dan tubuhnya menjadi lemas. Tubuhnya bergetar hebat menatap sosok dihapannya. Airmatanya mengenang memenuhi pelupuk matanya, namun berusaha sekuat mungkin dia tahan.
Seakan tersadar Je In pun bangkit dan meninggalkan pria dihadapannya yang berdiri mematung bingung. Gadis itu pun berlari kencang sekuatnya menghindari pria itu. Sementara pria itu hanya bisa terdiam dan merasa sedih melihat sikap Je In.
“Tidak ini tidak mungkin!” rutuk Je In sambil menghapus airmatanya.
            ****
Donghae berjalan pelan menyusuri sungai Han yang tenang. Musim gugur yang dingin membuat sebagian orang enggan keluar rumah. Pria itu menikmati pemandangan sungai Han yang menjadi tempat favoritnya. Karna kesibukannya sekarang sebagai selebritis, membuatnya jarang mempunyai waktu luang seperti saat ini. Donghae berhenti dan kemudian memandangi sungai Han. Tepat saat ia ingin menolehkan kepalanya berbalik, dia melihat seorang gadis sedang memejamkan kedua matanya –terlihat sangat menikmati udara disekitarnya.
Tanpa disadari olehnya mendadak hatinya menjadi hangat menapa gadis itu. Dia merasa telah mengenal gadis itu lama. Perasaan yang aneh,batinnya. Kakinya pun tanpa dikomando melangkah mendekati gadis itu. Kini Donghae sudah berdiri didepan gadis itu. Donghae pun memperhatikan gadis dihadapannya itu seksama. Gadis itu memiliki kecantikan alami baginya.
Tepat saat dia sedang memperhatikan gadis itu secara diam-diam, gadis itu membuka kedua matanya dan menatap terkejut kearahnya. Bisa dilihat jelas olehnya ekspressi terkejut gadis itu, dan airmata yang memenuhi pelupuk mata gadis itu. Donghae seakan tersentak saat melihat ekspressi gadis dihadapannya itu. Baru saja hendak dia ingin melangkah lebih dekat dengan gadis itu. Namun, gadis itu sudah terlebih dahulu bangkit dan berlari meninggalkannya.
Yak Agassi giddaryo!” teriak Donghae mencoba memanggil gadis itu. Donghae merasa sebuah perasaan aneh tengah menggerogoti hatinya.
Saat dia hendak berbalik, langkahnya terhenti saat ekor matanya menatap sebuah gantungan kunci tergeletak ditanah. Diambilnya gantungan kunci tersebut. “Apa ini milik gadis itu?” terka Donghae. Donghae menatap gantungan itu dan membolak-balikkannya. Dia menemukan sebuah inisial Ai-Je digantungan tersebut.
Sesaat Donghae mengerutkan dahinya, dan kemudian sebuah senyuman kecil terpasang dibibirnya. Donghae pun kemudian memasukkan gantungan tersebut kedalam saku mantel panjangnya. Pria itu kemudian berjalan meninggalkan sungai Han dengan langkah tenang.
            ****
Jin Guk menatap resah Je In yang membatu dihadapannya. Semenjak kedatangan gadis itu kembali ke Seoul memang Je In menjadi sosok yang pendiam, walau sesekali masih tertawa namun tidak selepas dan seriang dulu. Jin Guk merasakan sesuatu hal yang tidak beres sedang terjadi pada gadis dihadapannya ini. Dia mengenal Je In, bahkan sangat mengenalnya.
Dan terlebih Jin Guk menyimpan sebuah perasaan cinta didalam hatinya untuk gadis itu. Je In. gadis yang sudah dikenalnya sejak kecil, dan menjadi sahabatnya. Meskipun setelah lulus SMP Je In harus pindah ke London mengikuti kedua orang tuanya, namun rasa itu masih tersimpan rapi didalam hatinya untuk gadis itu.
Jin Guk tau alasan kenapa Je In kembali ke Korea. Itu semua tidak terlepas demi menghilangkan kesedihannya akibat meninggalnya namjachingunya. Walau dalam hatinya terbersit rasa syukur karna Je In kini sendiri dan kembali ke Korea, membuatnya merasa memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan gadis yang selama ini dicintainya.
Namun, melihat Je In yang seperti tak bersemangat seperti saat ini juga membuat hati Jin Guk menjadi sakit. Dia tidak tau apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan Je Innya yang dulu, yang ceria dan penuh semangat.
Hey whats up Jane?” Tanya Jin Guk mencoba mencairkan suasana.
Je In tergeragap dan mengangkat kepalanya, serta menghentikan kegiatannya mengaduk-aduk jusnya. “I saw him,” jawab Je In lirih.
Jin Guk menautkan kedua alisnya –bingung dengan maksud ucapan Je In. “Who your mean?” Tanya balik Jin Guk tidak mengerti.
Je In kembali menundukkan kepalanya dan kembali mengaduk-aduk jusnya. “Aiden,” jawab Je In parau. Tanpa aba-aba airmata Je In langsung turun membasahi kedua pipinya. Jin Guk tersentak mendengar jawaban Je In barusan.
Come on Jane! He passed away,” seru Jin Guk dengan tanpa sadar menaikkan nada suaranya. Je In mengangkat kepalanya dan menatap Jin Guk marah.
I knew it!” seru Je In tak kalah emosi. “Aku tau itu dengan  pasti Jin Guk-ah. Tapi dia sangat mirip dengan Aiden,” ulang Je In dengan sesenggukan.
Jin Guk merasa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tau saat ini Je In sedang dalam emosi yang tidak baik. Dan juga emosinya sendiri yang naik. Dilihatnya kini Je In yang tengah mengis hebat. Jin Guk merasa sangat bersalah sekaligus sedih. Dipeluknya Je In yang sedang menangis. Dia membiarkan gadis itu menangis sejadinya dipelukannya.
Je In menangis, menumpahkan semua yang dirasakannya dalam pelukan Jin Guk. Saat ini dia memang sangat rapuh dan butuh sebuah perhatian. “Jin Guk-ah otteohkaeyo? Mereka sangat mirip.”
Jin Guk mempererat pelukannya seolah tidak ingin melepaskan atau kehilangan Je In. “Tenanglah Je In-ah. Ada aku, kau tidak perlu khawatir. Biarkan Aiden beristirahat dengan tenang.” Je In mengangguk dalam pelukan Jin Guk.
Jin guk mengelus pelan rambut Je In, menenangkan gadis yang amat dicintainya itu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi Jane. Kau hanya milikku dan hanya untukku, Jin Guk tersenyum sinis sambil tetap memeluk Je In.
            ****
Donghae duduk disebuah bangku dalam caffe milik hyungnya. Pria itu terus menatapi gantungan kunci yang ditemukannya satu minggu yang lalu. Sejak kejadian di sungai Han tersebut, Donghae terus memikirkan gadis itu. Entah mengapa bayang-bayang gadis itu selalu datang dan menghampirinya, bahkan mengganggunya dikala malam hari.
“Sedang apa?” sapa Jong Woon ramah padanya sambil menepuk bahunya.
Donghae menoleh pada hyungnya yang kini sudah duduk disampingnya. “Sedang bersantai menikmati waktu libur ku,” jawab Donghae asal.
Jong Woon mendesis kesal dengan sikap bodoh adik sepupunya itu. “Bukan itu maksudku paboya,” sahut Jong Woon. Donghae hanya tersenyum bocah melihat ekspressi hyungnya. “Apa itu?” Tanya Jong Woon lagi sambil menunjuk gantungan kunci tersebut.
“Oh itu gantungan kunci milik seseorang,” jawab Donghae santai sambil menyesap minumannya. “Aku menemukannya satu minggu yang lalu, saat sedang berjalan-jalan disekitar sungai Han.” Ujar Donghae lagi menceritakan ulang.
“Ai-Je?” Jong Woon membaca inisial digantungan kunci tersebut dan kemudian menautkan kedua alisnya. Dia merasa tidak asing dengan inisial tersebut. “Apa kau tau siapa pemiliknya Donghae-ya?” Tanya Jong Woon kemudian.
Donghae menggelengkan kepalanya, “yang aku tau benda itu milik seorang gadis.” Donghae kemudian menatap bingung hyungnya. “Musun illiseo hyung? Apa hyung mengetahui pemiliknya?” kini Donghae balik bertanya.
Mollayo Donghae-ya. Aku seperti merasa tidak asing dengan inisial itu,” Jong Woon meletakkan gantungan kunci tersebut.
Sementara Donghae tertawa mendengar jawaban hyungnya barusan. “Hyung kurasa didunia ini banyak yang memakai inisial seperti itu,” ejek Donghae sambil tertawa. Jong Woon mengangguk –mengiyakan ucapan Donghae. Didunia ini memang banyak yang memakai inisial seperti itu. Tapi tidak bias dipungkirinya, sisi hatinya mengatakan hal sebaliknya.
Ai-Je. Apa mungkin Aiden-Jane? Batin Jong Woon masih mencoba mereka-reka.
                        ****
Je In berjalan pelan menyusuri rak-rak toko buku.  Gadis itu berjalan pelan dengan kedua matanya yang seolah mengawasi setiap jengkal rak-rak tersebut. Tangannya yang mungil bergerak pelan menyusuri barisan-barisan buku-buku yang tersusun rapi. Ia asik terlena oleh buku-buku tersebut. Baginya buku bukan hanya sebagai penambah pengetahuan, tetapi juga sebagai sebuah sarana hiburan baginya mengusir rasa sepinya.
Sepi. Kesepian yang ia rasakan semenjak kepergian Aiden untuk selamanya. Aiden lah yang mengajarkannya untuk mencintai buku, menyukai dunia dalam buku. Walau pada awalnya Je In tidak terlalu menyukai membaca namun lama-kelamaan dia mulai menyukai salah satu kebiasaan Aiden tersebut. Dan setelah kepergian Aiden hanya dengan membacalah Je In sejenak bisa merasa damai sama seperti saat Aiden berada disisinya dulu.
“Sedang apa eoh?” Tanya Je In pada Aiden dengan puppy eyesnya.
Aiden tampak melepaskan fokusnya pada buku yang dibacanya, dan kemudian tersenyum manis pada gadis dihadapannya itu. “Membaca buku,” jawabnya singkat dengan senyum hangatnya.
Je In mendecakkan lidahnya, “ckckck dasar tuan buku!” ledek Je In.
Aiden hanya tertawa pelan menanggapi ledekan dari gadisnya tersebut. Ia tau gadisnya itu tidak terlalu menyukai membaca dan juga buku sepertinya.
Tak berapa lama, Je In menemukan sebuah buku bacaan yang sangat menarik baginya. Sebuah novel kisah percintaan menarik rasa penasarannya untuk membaca novel tersebut. Setelah membaca sebentar synopsis novel tersebut, gadis itu pun langsung melangkah menuju kasir. Saat dia sampai di kasir ia masih harus sabar mengantri gilirannya.
“Semuanya 35.000 won,” ucap sang kasir ramah saat Je In sudah berada didepan meja kasir.
Je In pun membalas tersenyum ramah dan kemudian membuka tasnya -mencari dompetnya. Je In Nampak mengerutkan keningnya saat menyadari dompetnya tidak berada didalam tasnya. “Kemana dompet ku?” Je In berkata lirih masih dengan mencari dompetnya itu.
Sementara Je In yang nampak kebingungan mencari kemana dompetnya, sang kasir nampak mulai tidak sabaran. “Bagaimana nona apa anda jadi membayar novel tersebut?” Tanya sang kasir tak sabaran.
Je In mendongakkan kepalanya dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Begini, sepertinya dompet ku tertinggal di-.”
“Jika anda tidak membawa uang bisa silahkan pergi,” jawab sang kasir memotong ucapan Je In sinis. Je In hanya bisa menundukkan kepalanya malu, baru saja hendak berbalik pergi langkahnya terhenti oleh ucapan seseorang. “Berapa harganya? Biar aku yang membayar,” ucap seorang pria tampan.
“Eoh?” Tanya Je In bingung dengan ucapan pria tersebut. Pria tersebut kemudian menoleh –menatap Je In dengan senyuman manisnya. Je In tersentak melihat pria dihadapannya itu. “Semuanya 35.000 won,” jawab sang kasir ramah.
Pria tersebut tersenyum manis –kembali dan mengeluarkan dompetnya lalu membayar novel Je In. Sementara Je In hanya bisa termanggu memandangi pria dihadapannya itu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak saat pria itu ada dihadapannya. “Kamsahamnida, jangan lupa dating berkunjung lagi,” ucap sang kasir lagi dan menyerahkan novel Je In.
“Eoh ne cheonmaneyo,” jawab Je In setengah gugup dan membungkukkan badannya. Saat Je In menoleh pria itu sudah pergi dari toko buku tersebut. “Kemana dia pergi?” Tanya Je In bingung pada dirinya sendiri. Je In mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru mall tersebut.
Tepat pada saat itu, seseorang –lebih tepatnya pria menepuk bahu Je In. membuat gadis itu menoleh dan sedikit terkejut karnanya. Entah mengapa dadanya serasa menjadi kembali sesak. Dicobanya mengatur nafasnya yang tercekat, mengumpulkan oksigen-oksigen yang diperlukannya untuk bernafas. Pria itu berdiri dihadapan Je In dengan senyuman manisnya.
“Kau mencariku?” Tanya pria tersebut ramah dan lembut. Suara itu lembut mengalun ditelinga Je In, seakan mampu menghipnotisnya. Je In hanya bisa memandangi pria dihadapannya sendu tanpa mampu berujar. Lidahnya mendadak kelu saat itu juga. Pria itu sangat mirip dengan Aiden –mantan kekasihnya- yang sudah tiada. “Hey! Neo gweanchana?” Tanya pria itu lagi sambil melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Je In yang seakan membeku.
Donghae –pria itu- bingung dengan reaksi gadis dihadapannya. Gadis itu bukankah gadis yang sama dia temui didekat sungai Han beberapa minggu yang lalu? Seulas senyuman awalnya terukir diwajah Donghae, namun mendapati reaksi gadis itu memudarkan senyumannya. Tiba-tiba saja rasa cemas menghinggapinya. Perasaan yang aneh, bahkan sangat aneh.
Je In yang seakan tersadar menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu bingung apa yang harus dilakukannya. Pria dihadapannya itu terlalu mirip dengan Aiden yang begitu dia rindukan. Siapa sebenarnya pria ini? batin Je In dalam hatinya. Apa sebenarnya hubungannya dengan Aiden? Kenapa mereka begitu mirip? Pertanyaan itu langsung menyerbu kepalanya. Memaksanya untuk segera menemukan jawaban atas semua pertanyaan dalam hatinya.
“Eoh, gomawo sudah menolongku tadi,” ujar Je In kemudian. Je In memaksakan seulas senyuman tipisnya terpasang diwajah ayunya. Entah mengapa sisi hatinya menyuruhnya untuk tersenyum dihadapan pria itu.
Ne cheonma. Aku hanya tidak tega melihat mu dimarahi oleh kasir itu.” Balas Donghae, “kau tidak perlu sungkan seperti itu,” kata Donghae lagi dengan senyumannya.
“Aku pasti akan menggantinya nanti,” ucap Je In cepat. Dia hanya tidak ingin mempunyai hutang dengan orang lain, terlebih orang yang tidak dikenalnya. “Aniyo, gwaenchana. Kau tidak perlu menggantinya,” jawab Donghae.
“Ak-,” baru saja Je In ingin berujar tiba-tiba saja handphonenya berdering. Segera saja gadis itu menganggak handphonenya. “Yeobseo, ne wae geudae Jin Guk-ah?”
Neo jigeum eoddiga?” Tanya Jin Guk dari sebrang.
“Aku sedang di mall, mussun illiseo?”sahut Je In ramah. Semenetara Donghae memperhatikan Je In yang sedang menerima telpon dengan seksama. Entah mengapa ia menjadi ingin mengetahui pembicaraan tersebut.
“Oh, eum apa kau bisa ke restorant biasa?”
Onje? Jigeum?
Ne, otteohkae? Kau bisa?” tanya Jin Guk kemudian memastikan.
Geurae, aku akan kesana segera Jin Guk-ah.” Gadis itu pun menutup telponnya dan membalikkan badannya, namun sedikit terkejut mendapati ekspressi aneh Donghae. “Ah aku harus pergi sekarang,” ucap Je In dan berniat pergi, namun Donghae menahannya.
Chamkam! Bukankah kita belum berkenalan?” tanya Donghae dengan menggenggam sebelah pergelangan tangan Je In. Gadis itu membulatkan matanya sebelum melirik sekilas sebelah tangannya yang digenggam oleh Donghae.
Ye?”
Joneun Lee Donghae imnida,” Donghae melepaskan genggaman tangannya dan mengulurkannya didepan gadis itu.
“Jane, Jung Je In imnida. Bangaeupsemnida, Donghae-ssi,” balas Je In. “Mianhae aku harus pergi sekarang,” ucap Je In lagi dan kemudian membungkukkan badannya dan berlalu dari hadapan Donghae.
“Jane? Jung Je In?” ulang Donghae. “Nama yang cantik seperti pemiliknya,” ucapnya lagi dengan menyunggingkan senyumannya menatap punggung Je In yang berlalu pergi. Seulas senyum pun kembali menghiasi wajah Donghae. Pria itu pun bersiul kecil sambil berlalu dari tempatnya.
***
Jin Guk menyusun lilin-lilin dan perlengkapan dinner lainnya. Sudah sekitar satu jam namja ini menata dekorasi sebuah ruangan restoran menjadi tampak indah, anggun dan juga berkelas. Setelah dirasanya cukup, ia pun duduk dan menunggu kedatangan Je In.
Jin Guk merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak yang berisi cincin berlian. Dia menatap penuh senyum kotak tersebut lama, sebelum kemudian akhirnya memasukkannya kembali kedalam saku celananya. Jin Guk melihat jam dipergelangan tangannya, sedikit gelisah karna Je In yang sedari tadi ditunggunya belum juga datang.
Pria itu nampak sedikit gugup, lalu menggembungkan kedua pipinya dan menghirup oksigen yang dia perlukan sebanyak mungkin untuk mengurangi rasa gugupnya. “Aish kenapa aku menjadi gugup seperti ini? Aish jinja!” dengus Jin Guk.
Jin Guk kembali menghirup oksigennya. Perasaannya sedikit lebih tenang sekarang walaupun masih merasa sedikit gugup. Tak lama sosok Je In datang memasuki restorant. Gadis itu sesaat Nampak mengedarkan pandangannya mencari Jin Guk. Jin Guk tersenyum melihat gadis yang ditunggunya sejak tadi sudah tiba. Pria itu mengangkat tangannya –memanggil Je In.
Je In tersenyum saat matanya menangkap sosok yang dicarinya. Gadis itu pun segera melangkahkan kakinya kearah Jin Guk. Jin Guk bangun dari duduknya dengan senyumannya yang tidak bisa dia lepaskan. Dia benar-benar terpesona dengan gadis yang ada dihadapannya ini. Je In, gadis manis yang sudah sejak lama mencuri hatinya secara diam-diam.
Je In yang mengenakan dress berwarna merah muda selutut dengan sebuah pita lucu yang menghiasi rambutnya yang sebahu semakin mempertegas kesan imut pada dirinya. Gadis itu berjalan anggun menuju bangku Jin Guk dengan senyuman manisnya. Je In benar-benar terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng walaupun dengan dandanan yang sempurna seperti saat ini.
“Ah maaf, kau pasti sudah lama menungguku disini?” ucap Je In menyesal dan kemudian duduk dibangku yang sudah disiapkan.
 Jin Guk menggelengkan kepalanya, “aniyo,kau tidak perlu meminta maaf seperti itu.” Jin Guk tertawa kecil menghilangkan kegugupannya yang sekarang semakin bertambah.
Je In tersenyum lega kemudian menganggukkan kepalanya. “Kenapa disini hanya ada kita berdua Jin Guk-ah?” Tanya Je In bingung memperhatikan sekitarnya.
Jin Guk tampak menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal. “Oh itu karna aku sengaja menyiapkan semua ini untuk mu Jane,” jawab Jin Guk malu-malu.
Ye? Kau menyiapkan semua ini untuk ku?” tanya Je In mengulangi ucapan Jin Guk. Namja itu sekali lagi nampak menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal sama sekali dan menganggukkan kepalanya.
“Apa kau tidak suka?” terka Jin Guk cemas.
Je In menggeleng cepat, “aniyo Jin Guk-ah. Aku hanya sedikit bingung,” jawabnya buru-buru sambil tersenyum manis. Ia hanya tidak ingin membuat sahabatnya itu kecewa.
Pria itu menghela lagi nafasnya sedikit lega. Setidaknya Je In usahanya tidak terlalu buruk. Pria itu kemudian mengangkat jarinya keatas, dan menjentikkannya sekali. Tak lama seorang pelayan datang dan membawakan beberapa jenis makanan. Dengan anggun dan cekatan pelayan itu menyediakan makanan kehadapan Jin Guk dan Je In.
Setelah selesai dengan tugasnya, pelayan itu membungkukkan badannya dan meninggalkan mereka berdua. Jin Guk maupun Je In membalas dengan senyuman khas mereka masing-masing. Mereka berdua pun menyantap sajian yang ada dihadapan mereka. “Jane?” panggil Jin Guk kemudian. Gadis itu menghentikan makannya dan menatap Jin Guk sedikit bingung.
Jin Guk tersenyum sesaat sebelum sebelah tangannya terulur dan dengan pelan mengelap sudut bibir Je In yang terdapat sisa makanan. “Aish ternyata kau belum juga berubah. Masih sama dengan dulu saat masih kecil,” ledek Jin Guk sambil mengelap sudut bibir Je In.
Gadis itu sedikit tersentak dengan tindakan Jin Guk namun segera ia memasang senyuman polosnya. “Gomawo Jin Guk-ah,” ucapnya malu. Sesaat Jin Guk tertawa kecil, ternyata gadis yang ada dihadapannya ini sama sekali belum berubah dan itu semakin membuatnya jatuh cinta kepadanya.
Pria itu melemparkan senyuman manisnya dan kemudian secara spontan mengelus rambut Je In yang tergerai. Je In pun hanya membalasnya dengan senyumannya. “Ah iya sepertinya aku melupakan suatu hal,” ucap Jin Guk kemudian. Pria itu pun kembali mengangkat jarinya keatas dan menjentikkannya lagi –sama seperti tadi- ,dan kali ini berbeda.
Sebuah suara alunan musik klasik nan lembut mengalun merdu dari beberapa pemain. Itu musik Mozart –komponis besar idola Je In. Gadis itu sedikit terkejut akan kejutan pria yang ada dihadapannya ini. Ia tidak menyangka jika sahabatnya itu masih mengingat musik kesukaannya. Sebuah senyuman pun tergambar indah diwajah Je In. “Kau masih mengingat komposer idola ku?” tanya gadis itu.
Jin Guk tersenyum lembut dan mengangguk. “Nde, aku mengingatnya Jane,” jawabnya lembut. Bahkan aku selalu mengingat semua hal tentangmu, lirihnya dalam hati. “Kau suka?” tanyanya kemudian. Gadis itu hanya mampu menganggukkan kepalanya pelan dan kembali tersenyum.
Je In menikmati setiap alunan musik yang mengalir dengan lembut tersebut. Sudah lama rasanya ia baru mendengarkan kembali musik itu. Jin Guk menatap kagum wajah ayu yang ada dihadapannya itu. Dirasakkannya kembali dadanya yang bergemuruh hebat. Tidak bisa. Dia tidak bisa menunggu lagi saat ini. Dia sudah menunggu terlalu lama untuk gadis itu, dan sempat kehilangannya. Kini, ia tidak ingin itu semua terulang kembali.
Dia sangat mencintai Je In. Mencintai gadis itu melebihi apapun. Dan ia tidak ingin kehilangan gadis itu untuk kesekian kalinya karna kebodohannya. “Jane?” panggil Jin Guk kemudian.
Je In menutar kepalanya dan menatap Jin Guk lembut. “Nde? Mussun illiseo Jin Guk-ah?” tanyanya lembut.
Jin Guk Nampak kembali gugup sekarang. Namun ia sudah bertekad dalam hati, ia harus tetap melakukannya. Namja tampan itu tampak menghela nafasnya –sekedar mengurangi rasa gugupnya. “Nae…,” ucapnya menggantung diudara.
Je In menunggu kelanjutan kalimat Jin Guk yang menggantung dengan sabar. “Nde?” tanya gadis itu sedikit penasaran.
Nan neorul joha Jung Je In. Saranghada,” ucap Jin Guk kemudian. Je In nampak terkejut dengan pengakuan Jin Guk barusan. “Aku tau mungkin kau terkejut dengan ini. Tapi, aku mencintaimu Jane, sangat mencintaimu bahkan sejak kita masih kecil aku sudah mencintaimu.”
Je In nampak bingung, ia tidak tau harus berbuat apa atau sekedar menjawab apa. Semua ini terlalu cepat baginya dan terlalu mengejutkannya. Ia hanya menganggap Jin Guk sebagai  sahabatnya sejak kecil, bahkan tidak lebih dari itu. Hatinya masih terdapat Aiden –kekasih yang sangat dicintainya sampai kapan pun.
“Aku…” Je In menjawab terbata bahkan terkesan bimbang.
Jin Guk mengambil sebelah tangan Je In dan menggenggamnya dengan erat. “Aku mencintai mu. Aku tau kau masih sangat mencintai Aiden. Tapi tidak bisakah kau mencoba membuka hatimu untuk ku?”
“Jin Guk-ah. Aku…” jawab Je In kembali terbata. Ia benar-benar bingung saat ini. Ia memang menyayangi Jin Guk tapi untuk mencintai namja itu ia tidak bisa.
“Sampai kapan kau akan menunggu dan terus mencintai orang yang sudah meninggal Jane?” hardik Jin Guk menaikkan nada suaranya. Ia benar-benar kehilangan kesabarannya kali ini. Sesaat ia merasa menyesal mengucapkan kalimat itu.
Je In mengangkat kepalanya, menatap tajam Jin Guk dihadapannya dengan penuh amarah. Airmata sudah mengembang dikedua pelupuk matanya yang indah. Dengan seketika gadis itu bangun, dan melayangkan sebuah tamparan telak untuk Jin Guk. Ia benar-benar tidak menyangka dan tidak habis pikir, Jin Guk sahabatnya sejak kecil mengatakan hal seperti itu.
“Kau tidak berhak mengucapkan kalimat itu Choi Jin Guk!” tuntut Je In tegas. Matanya memanas. Demi Tuhan saat itu ia ingin menangis. Gadis itu pun berlalu meninggalkan Jin Guk yang mematung ditempatnya.
Sebelah tangan Jin Guk terangkat dan mengusap pipinya yang memanas terkena tamparan Je In. Sekali lagi ia telah melakukan sebuah kesalahan bodoh yang tanpa ia sadari sudah menggoreskan sebuah luka dihati Je In yang memang sudah berdarah. “Mianhae Jane. Jeongmal mianhae,” ucapnya lirih dengan suaranya yang parau.
TBC